Neoratnayuwinda

welcome in my 2nd time

ThiNk global, act Locally : trik jitu 2 jempol

Mencontek atau mengerpe adalah masalah global dalam dunia pendidikan umumnya, hanya pada sekolah-sekolah swasta yang berdisiplin tinggi dan ketatlah yang imun –minimal tidak terlalu sering terjadinya- terhadap masalah ini. Kerap kali hal ini dijadikan senjata ampuh bagi penyandang status pelajar dan mahasiswa tingkat berapapun untuk menghadapi ujian yang diberikan oleh Dosen atau guru di Perguruan tinggi dan sekolah atas nama kerjasama dan solidaritas antar teman sekelompok dalam rangka mendapatkan nilai yang bagus.
Masalah ini sangat membudaya dalam masyarakat, bahkan merasuk kuat kedalam jiwa pelajar dan mahasiswa karena internalisasinya yang sangat gencar, dari rumah sampai masyarakat (termasuk masyarakat sekolah dan kampus) dan sedari kecil sudah diajari untuk mencontek secara positif (maksudnya modelling sikap yang baik) sampai dipengaruhi yang negatif. Kadang bagi sebagian pendidik hal ini sangat mengecewakan sekaligus membanggakan. Kecewa karena pengorbanan yang diberikan kepada siswa atau mahasiswa tidak sesuai dengan balasan berupa kebohongan berjamaah dan hakikat ujian tidak memberikan hal semestinya karena ternoda usaha manipulasi jawaban. Dan bangga karena boleh dikatakan minus nilai jelek bahkan lulus ujian 100%.
Trik-trik yang digunakan berkembang semakin canggih mengikuti tren tehnologi, seperti sebuah film Mandarin yang pernah diputar di tv swasta. Saking globalnya masalah yang satu ini, juga terjadi di ‘pabrikan’ guru –tidak luput dari masalah ini- sehingga agak buram membayangkan masa depan yang nantinya harus dipikul bersama pengkhianat ajaran hedone Epicurus dari Romawi –hedone dalam ajaran Epicurus diartikan kepuasan intelek dan estetika (kerohanian) bukan yang diartikan pada masa sekarang yaitu kepuasan jasmani- dengan kata lain penganut mencontek dan mengerpe.
Sebuah kejadian menarik baru-baru ini terjadi di spasial yang sangat locally yakni di sebuah program studi di ‘pabrik guru’ sebuah universitas tertua Kalimantan Selatan, pada suatu mata kuliah jumlah angka mahasiswa yang tidak lulus ±50% dari jumlah total yang mengambil mata kuliah tersebut yakni sekitar 24 orang, karena soal ujian yang agak text book dengan sifat ujian open book tapi dialihbahasakan menjadi bahasa Inggris.
Satu sisi ada keprihatinan, tetapi disisi lain salut sekali dengan pemilik ide brilian ini. Seperti yang kita tahu bersama bahasa Inggris bukanlah hal baru dalam khasanah pengetahuan seorang mahasiswa. Bahasa ini adalah salah satu lingufranca antar bangsa dewasa ini. Sangat ironis apabila seorang mahasiswa malah gagu –minimal secara pasif- untuk memahaminya.
Secara tidak sadar hal ini memperlihatkan bahwa kejahiliyahan dalam bahasa Inggris masih menyelubungi atmosfir pendidikan di program studi tersebut khususnya, juga mengisyaratkan seberapa besar otak mahasiswa prodi (program studi) yang bersangkutan gagal dalam merespon globalisasi dari segi bahasa secara positif, yang mana globalisasi sudah menyerbu Indonesia sejak abad ke-7 lalu. Rupanya pembodohan yang terjadi pada rezim yang lalu berhasil membalik otak fresh siswa-siswa yang menjadi mahasiswa kini. Ada pertanyaan menggelitik : apakah IP yang tercantum dalam KHS akhir semester itu benarkah layak diterima oleh mahasiswa tersebut? I don’t know exactly.
Dalam konteks ini saya mencoba memasukkan slogan Think globally, act locally. Hal-hal global dalam kejadian tadi adalah soal mencontek dan mengerpe yang sangat menular dan menjadi rahasia umum pelajar dan mahasiswa dalam menghadapi ujian, bahasa Inggris yang merupakan lingufranca dunia, dan ide soal ujian dengan lingufranca tersebut. Hal global diatas diramu dalam tindakan lokal yakni ujian akhir semester beberapa mata kuliah sebuah prodi di kampus pabrik guru di Banjarmasin yang mengakibatkan 24 orang mahasiswa mendapat nilai berstatus tidak lulus dari mata kuliah yang bersangkutan.
Trik alih bahasa ini merupakan trik jitu berasas think globally, act locally untuk meng-counter global bad habit –mencontek dan mengerpe- ala pelajar dan mahasiswa, sekaligus membuka wawasan bahwa kemampuan menguasai bahasa asing mutlak perlu untuk menghadapi globalisasi abad ke-21 ini dan me-warning serta me-achtung bahwa sudah saatnya untuk menginstall ulang otak, melengkapinya dengan anti virus semacam mencontek dan mengerpe yang sangat tangguh selayaknya virus HIV/AIDS dalam otak yang akibat seriusnya adalah kehilangan petunjuk manual menggunakan otak sendiri, agat tidak terus-terusan mengendap dalam memory kepala. Good luck!

2 Comments »